ASPEK EKOLOGI RENCANA PEMBENDUNGAN SUNGAI KAYAN DI KALIMANTAN UTARA
Harian Tribun Kaltim terbitan hari Jumat tanggal 26 Februari 2016 di halaman 17 (bersambung ke halaman 23) memberitakan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk rencana pembangunan bendungan di Sungai Kayan oleh perusahaan Konsorsium PT KHE dan CPI, terutama untuk bendungan tahap I yang memerlukan lahan seluas kurang lebih 236,60 ha dari sekitar 2 189,34 ha luas lahan seluruhnya yang diperlukan untuk membangun 5 bendungan. Pada awal tahun 2014, harian yang sama juga telah memberitakan peletakan batu pertama proyek tersebut oleh sejumlah pejabat pusat maupun daerah. Dokumen Amdal rencana proyek ini memang telah dipresentasikan di hadapan Tim Teknis dan Komisi Penilai Amdal Provinsi Kalimantan Timur pada akhir tahun 2013 (karena saat itu Komisi Penilai Amdal Provinsi Kalimantan Utara belum dibentuk). Di dalam sidang tersebut, anggota tim teknis dari bidang hidrologi dan kualitas air tampaknya belum membahas sampai sejauh yang akan saya tulis di bawah ini. Ketika harian Tribun memberitakan peletakan batu pertama proyek ini pada awal tahun 2014 saya sudah hendak menulis tulisan ini tetapi belum terealisasi. Saat ini tulisan ini coba saya realisasikan dengan tujuan memberikan pencerahan kepada masyarakat umum, terutama mengingatkan pemerintah sebagai pembuat keputusan dan pengambil kebijakan serta pemrakarsa proyek (investor) agar dapat mengambil keputusan dan kebijakan secara bijkasana dan melaksanakan pembangunan secara seimbang antara pembangunan fisik dan ekonomi di satu sisi dengan pelestarian fungsi lingkungan di sisi lain. Karena seringkali yang terjadi adalah pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan banyak menimbulkan kerusakan lingkungan yang akhirnya bermuara kepada manusia juga, terutama kelompok marginal, penduduk miskin, yang semakin tak berdaya. Mereka hanya menerima dampak negatif dari pembangunan, sedikit menerima manfaat dan dampak positifnya. Contoh kongkrit adalah kegiatan penambangan batubara di wilayah Kota Samarinda, yang telah menyebabkan banyak bencana lingkungan, banjir berkepanjangan, banyak nyawa melayang di kolam bekas tambang, wajah buminya semakin bopeng. Belum lagi dampak ekologis yang tidak kasat indera yang untuk mengetahuinya seringkali diperlukan penelitian secara saksama dan bantuan alat. Usaha pertambangan seperti itu memang menyerap sejumlah tenaga kerja, tapi seberapalah pendapatan yang mereka terima sebagai pekerja, ibaratnya hanya cukup untuk makan, sebaliknya sang pengusaha pendapatannya berlipatganda dan ditumpuk disiapkan untuk turunan yang ke tujuh, padahal cucunya (turunan yang ke tiga) saja mungkin belum lahir. Tidak jarang kita baca di koran, pengusaha batubara kawin sampai tujuh kali, dengan isteri yang masih serumah paling sedikit tiga orang. Bahkan beberapa minggu yang lalu media massa yang memberitakan adanya pengusaha batubara di Kalimantan Selatan yang mengadakan pesta pernikahan anaknya selama 10 hari 10 malam dengan mengundang sejumlah artis ibukota, termasuk Rohma Irama yang sawerannya saja berupa motor gede (moge) seharga ratusan juta rupiah. Di sisi lain, pemerintah daerah yang menolak potensi batubara di wilayahnya untuk ditambang, rakyatnya juga tidak pada mati kelaparan. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh banyak pemerintah daerah, terutama di era otonomi ini (karena kepala daerah memiliki kewenangan yang lebih), yakni menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian fungsi lingkungan. Bukan menyalahgunakan kewenangan yang merusak lingkungan dan menyengsarakan rakyat kecil serta mengabaikan keadilan.
Tulisan ini secara umum saya sarikan dari tulisan Anton Lelek (1988) yang berjudul “Aspek Ekologi Pembendungan Sungai di Kalimantan” dalam Gustav Espig (Peny). Tulisan Anton Lelek ini dimaksudkan sebagai respon atas rencana pembangunan bendungan di Sungai Rajang yang terletak di Sarawak oleh Pemerintah Malaysia, yakni wilayah tetangga yang berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Utara di mana bendungan Sungai Kayan akan dibangun. Bendungan yang akan dibangun saat itu akan digunakan untuk membangkitkan listrik melalui PLTA, dengan kapasitas diprakirakan sebesar 3 000 MW. Sedangkan PLTA Sungai Kayan diprakirakan dapat menghasilkan sekitar 6 000 MW melalui lima bendungan.
Menurut Lelek, faktor yang mengandung risiko paling besar dari rencana pembangunan bendungan di Sungai Rajang saat itu adalah akibat-akibat ekologis atau limnologi. Sekilas pembangunan bendungan seperti itu di wilayah tropis sepertihalnya Pulau Kalimantan hanyalah proses alih keberhasilan teknik dari Eropa, Amerika Utara, dan wilayah berikilim sedang ke Asia. Namun sebenarnya lebih rumit dari itu.
Sebelum proyek-proyek itu selesai, menurut Lelek telah terjadi sejumlah masalah yang tak terduga. Masalah ini bersifat biologi, parasitologi, dan botani, serta sosiologi yang rumit. Penduduk yang tinggal berdekatan dengan bendungan tidak mendapat keuntungan yang nyata dari bendungan tersebut, karena tujuan utama pembuatan bendungan adalah untuk memperoleh energi listrik yang belum tentu mereka nikmati, karena untuk menikmati juga harus membayar. Kehidupan mereka mengalami perubahan drastis akibat penggenangan pemukiman mereka, sehingga mereka harus dimukimkan kembali (relokasi). Demikian pula diprakirakan yang akan dialami oleh sejumlah penduduk akibat rencana pembangunan bendungan di Sungai Kayan, karena rencana yang tercantum di dalam dokumen Amdalnya disebutkan pula adanya rencana merelokasi sejumlah penduduk, karena pemukiman mereka akan digenangi. Pinggiran sungai yang dulunya subur dan dapat ditanami tidak lagi dapat digarap atau ditanami setelah digenangi. Satu-satunya keuntungan bagi penduduk setelah pemukiman mereka digenangi adalah panen ikan yang cukup tinggi pada tahun-tahun awal. Itupun kalau ikan-ikan itu dapat dijual (ada pembelinya), mengingat lokasi proyek yang terletak di hulu dan pedalaman yang penduduknya masih sangat sedikit. Sebenarnya ada manfaat berkelanjutan yang dapat diterima oleh penduduk di sekitar proyek, yakni memelihara ikan di dalam waduk, jika diizinkan. Akan tetapi persoalannya seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Lentvaar, 1973; van der Heide, 1982; dan Caufield, 1982 dalam Lelek 1988), puluhan tahun setelah waduk Brokopondo dibangun, air waduk tersebut masih belum memungkinkan untuk dipakai oleh penduduk setempat.
Menurut Lelek permasalahan semakin sulit jika bendungan dibangun di daerah yang beriklim tropis lembab (seperti di Kalimantan Utara). Kesulitan baru kebanyakan terdapat di bidang limnologi, tumbuhan air (gulma) dengan tiba-tiba dapat tumbuh subur di dalam genangan (waduk) dan dapat menghabiskan banyak oksigen yang terlarut di dalam waduk tersebut, sehingga terbentuk lapisan air tanpa oksigen (anaerobik) dan membentuk H2S yang bersifat racun dan berbau busuk, sebagai hasil penguraian massa organik (tumbuh-tumbuhan yang tergenangi air) secara anaerob.
Sungai-sungai di Kalimantan, sepertihalnya Sungai Rajang dan Sungai Kayan umumnya memiliki semua sifat kualitas air daerah tropis, yakni cenderung non-transparan, miskin akan unsur hara terlarut, agak asam, dan hampir tidak selalu jenuh oksigen. Di samping itu, semua alian air di daerah ini mempunyai ciri khas fluktuasi permukaannya yang dramatis, karena sifat tanahnya yang kurang menyerap air, sehingga air hujan banyak yang menjadi aliran permukaan (surface run off) dan langsung masuk ke sungai, walau tidak ada perbedaan curah hujan yang berarti antara musin hujan dan musim kemarau; kecuali saat terjadi anomali seperti sekarang ini (fenomena Elnino). Perbedaan permukaan air yang sangat ekstrim ini menurut Lelek kemungkinan besar merupakan faktor penentu di dalam pemeliharaan permanen dan fluktuasi keseluruhan ekosistem sungai.
Akibat Pembendungan Sungai
Pengisian waduk melalui penggenangan biomassa (tumbuhan) yang ada di daerah genangan menurut Lelek akan menyebabkan oksigen di dalam air waduk tersebut terpakai dan habis dengan cepat untuk proses dekomposisi (penguraian) biomassa. Zona hipolimnion di dalam waduk tersebut akan selalu anaerobik, akibat tingginya suhu, rendahnya kandungan oksigen di dalam air, kurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam air akibat keruhnya air, dan akibat rendahnya kandungan oksigen pada proses dekomposisi biomassa. Kondisi ini kemudian diikuti oleh pembentukan hidrogen sulfida (H2S). Karena proses dekomposisi anaerobik terhadap seluruh massa hijau berlangsung lambat (akibat kekurangan oksigen di dalam air), maka lapisan air yang lebih bawah akan selalu terpengaruh oleh H2S, sehingga biota air, terutama ikan tidak dapat hidup di sana. Terciptalah situasi ekologi yang mirip dengan yang terjadi di waduk Brokopondo di Suriname. Di sana tumbuh-tumbuhan yang digenangi air di dasar waduk, tak lama setelah waduk terisi penuh dengan air, seluruh oksigen yang terkandung di dalam air habis terpakai untuk proses dekomposisi biomassa yang digenangi, tumbuhan air (gulma) di permukaan berkembang dengan cepat, sehingga menutupi seluruh permukaan waduk. Lapisan di bawahnya menjadi anaerob dan kemudian terbentuk H2S. Walau bencana ekologi ini telah diprakirakan sebelumnya, namun tidak diimbangi dengan langkah pencegahan, karena di sekitarnya jarang pemukiman penduduk, sehingga langkah pencegahannya dianggap kurang penting. Kondisi yang sama dapat dan dikawatirkan akan terjadi pada proyek pembangunan bendungan di Sungai Kayan, mengingat lokasinya di bagian hulu dan pedalaman yang jarang penduduknya. Setelah 14 tahun dibangun, air waduk Brokopondo ternyata masih tetap belum memungkinkan untuk dipakai oleh penduduk. Setelah itu barulah dilakukan langkah perbaikan dengan menelan biaya 4 juta dolar AS (7% dari total biaya proyek), namun hasil perbaikannya masih belum memadai.
Lelek menyimpulkan bahwa usaha sungguh-sungguh harus dilaksanakan di dalam memanfaatkan energi sungai-sungai besar dengan kewajiban melestarikan fungsi lingkungan secara sungguh-sungguh, baik untuk manusia (secara langsung) maupun untuk binatang yang secara tidak langsung juga akan bermuara pada manusia. Caranya adalah dengan sesedikit mungkin melakukan perubahan; karena pada hakekatnya setiap pembangunan adalah mengubah keseimbangan lingkungan. Masalah akan timbul jika manusia terlalu banyak mengubah lingkungan. Syarat yang paling penting untuk mencegah timbulnya kerusakan sebagai akibat pemanfaatan energi air sungai menurut Lelek adalah pengetahuan yang tepat mengenai ekologi sungai. Namun sayangnya belum pernah dilakukan penelitian lapangan mengenai hal ini di Kalimantan. Demikian pula kekawatiran Lelek tentang kemungkinan terjadinya bencana ekologi akibat pembangunan waduk di Sungai Rajang ini sampai saat ini juga belum diketahui, apakah secara empirik memang terjadi seperti yang terjadi di waduk Brokopondo?
Usaha Pencegahan Bencana Ekologi
Berdasarkan uraian tentang bencana ekologi yang dapat terjadi akibat pemanfaatan energi sungai besar melalui pembangunan waduk (pembendungan sungai) guna membangkitkan listrik seperti itu, menurut Lelek yang paling penting untuk mencegah terjadinya bencana ekologi akibat kegiatan itu adalah menyingkirkan semua tumbuhan dari daerah genangan sampai ke akar-akarnya guna menghindari pemakaian oksigen untuk proses dekomposisi biomassa pada waktu pengisian waduk. Upaya ini tidak cukup dengan hanya menebangi pohon yang kayunya bermutu tinggi dan laku dijual. Tumbuhan lain yang secara ekonomis tidak menguntungkan juga harus dibuang.
Vegetasi yang tersisa di dasar waduk setelah penebangan kayu yang bermutu (kayu bernilai komersial), harus dihancurkan secara kimiawi dan akhirnya dibakar. Walau cara ini kelihatannya kurang ramah lingkungan, namun menurut Lelek langkah ini merupakan jalan ke luar yang paling baik dan paling dapat diandalkan. Penyingkiran vegetasi dapat pula dilakukan secara konvensional. Jika cara ini yang digunakan, maka tidak ada masalah kapan pembersihan harus diselesaikan. Jika penghancuran vegetasi dilakukan dengan cara kimiawi dan pembakaran, sisa pembakaran itu sebaiknya dibuang tidak lebih cepat dari 6 bulan setelah pembakaran, namun juga tidak boleh lebih lambat dari 4 bulan dengan mengalirkannya melalui air atau menggunakan bantuan curah hujan.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah membuat hambatan untuk mencegah bahan organik yang hanyut ke dalam anak sungai masuk ke dalam waduk, sedikitnya selama 4 tahun sejak waduk diisi, bahkan kalau bisa terus-menerus. Penghambatan dapat dilakukan dengan memasang “perangkap daun” di dalam semua anak sungai yang menuju ke waduk untuk menjerat dan menahan hanyutan organis. Perangkap daun ini dapat berupa 2 sampai 4 batang pohon di pinggir anak sungai, yang ditebang sedemikian rupa sehingga tajuknya jatuh tepat ke dalam sungai. Agar perangkap daun ini berumur panjang, hendaknya dipilih pohon yang batang kayunya keras.
Jadi agar tidak terjadi bencana ekologis seperti di waduk Brokopondo, Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara melalui Badan Lingkungan Hidup Daerah seyogyanya menyarankan kepada pemrakarsa proyek PLTA Sungai Kayan hendaknya melaksanakan pencegahan yang dimaksud dengan cara-cara di atas. Jika perlu dengan menilai ulang dokumen Amdalnya dengan mencari alasan yang tepat dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Cara-cara pencegahan seperti di atas, yakni penyingkiran semua vegetasi dari area genangan dan penghambatan bahan biomassa yang hanyut ke dalam waduk, menurut Lelek hanya memerlukan sebagian kecil dari seluruh biaya pembangunan waduk dan PLTA beserta jaringannya.