Benarkah Teknologi akan Berkembang Terus Tanpa Batas?
Saudara Arif Er Rachman dari harian Tribun Kaltim pada hari Minggu tanggal 23 April 2017 menulis pada kolom “Rehat” harian ini dengan judul “Tetaplah Optimis pada Bumi”. Saudara Arif Er Rachman tampaknya sebagai penganut paham yang optimis di dalam melihat hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Dengan merujuk beberapa sumber, akhirnya Er Rachman mengajak kita semua untuk tetap optimis pada bumi.
Sepertihalnya “tesis gemah ripah” (cornupcopian thesis) di dalam teori lingkungan, saudara Er Rachman (dengan merujuk berbagai sumber) pada intinya menyatakan bahwa semua masalah yang dihadapi oleh umat manusia ini akan selalu dapat diatasi dengan bantuan teknologi, yang secara fakta sampai hari ini memang terus berkembang, sehingga semakin memudahkan kehidupan manusia dan dapat mangatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh manusia. Pertanyaannya adalah: benarkah teknologi akan berkembang terus tanpa batas? Tesis gemah ripah antara lain menyatakan bahwa: (1) batas pertumbuhan (ekonomi) seperti yang disampaikan oleh “tesis titik batas” (limits thesis) baru ada jika ilmu dan teknologi sudah tidak berkembang lagi, dan (2) walaupun ilmu dan teknologi sudah berhenti berkembang, titik batas itu masih jauh. Jadi tesis gemah ripah sekalipun secara eksplisit mengakui bahwa suatu saat dapat saja ilmu dan teknologi itu berhenti berkembang. Inilah hal pertama yang menurut saya luput di dalam tulisan saudara Er Rachman, bahkan saudara Arif Er Rachman mengkonternya dengan merujuk pada analisis terbaru dari sejumlah ilmuwan, terutama fisikawan. Akhirnya saudara Er Rachman pada kesimpulannya mengajak kita untuk tidak mempedulikan sudah berapa usia bumi kita ini.
Memang yang harus kita pedulikan bersama bukanlah sudah berapa usia bumi kita saat ini, melainkan kondisinya yang semakin buruk. Kembali kepada perkembangan teknologi, saya akan melihatnya dari sisi agama, bukan ilmu, karena ilmu sudah jelas belum dapat memberikan jawaban yang pasti (walau saya bukan ahli agama). Semua umat yang beragama (termasuk sudara Er Rachman) pasti meyakini tentang adanya hari akhir atau hari kiamat. Jadi jika demikian halnya, maka setidak-tidaknya perkembangan teknologi itu akan berhenti pada hari akhir atau hari kiamat; artinya bukan tapa batas. Di samping itu perkembangan teknologi itu dapat kita analogikan dengan diri manusia sendiri, yakni dari tidak ada kemudian dilahirkan/diadakan (“di-anakke”, maka disebut “anak”), kemudian tumbuh, berkembang, dan mati (sebagai batas). Jika kita menganut paham seperti ini (tesisi titik batas), yakni bahwa semua pertumbuhan ada batasnya, termasuk pertumbuhan teknologi, adalah bahwa kita akan lebih berhati-hati di dalam berhubungan dengan lingkungan alam kita, lebih berhati-hati di dalam memperlakukan lingkungan alam kita, tidak serakah, tidak hanya melihat kepentingan sesaat, lebih bijkasana di dalam menggunanakan sumberdaya alam (SDA); bertindak ramah terhadap lingkungan, dan seterusnya. Orang yang lebih berhati-hati di dalam segala hal biasanya akan lebih selamat dibanding orang yang ceroboh, sembarangan, boros, sombong dan sebagainya. Meminjam pepatah Jawa: “sak bejo-bejane wong kang lali isih beja wong kang eling” (seberapapun keberuntungannya orang yang “alpa”, masih lebih beruntung orang yang waspada, berhati-hati, jujur, dan sebagainya). Kembali kepada agama, walau sampai saat ini belum ada
satupun orang yang dapat menunjukkan fakta empirik bahwa yang namanya “surga” itu memang ada[1]; namun setiap orang yang meyakini adanya surga itu pasti akan memilih surga dibanding neraka; dan dia akan berusaha sekuat tenaga agar jalan yang dilalui menuju ke sana tidak salah. Jadi ibaratkanlah seperti itu di dalam melihat hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Insya Allah kita akan selamat.
Hal ke dua yang luput di dalam tulisan Arif Er Rachman adalah fakta bahwa selama ini inovasi teknologi semacam itu seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Celakanya dampak negatif itu baru diketahui beberapa bahkan puluhan tahun ke belakang. Contoh paling populer adalah ditemukan dan digunakannya DDT sebagai insektisida . Pada awalnya senyawa ini diklaim sebagai pembasmi hama yang efektif dam murah, sehinga digunakan secara meluas di bidang pertanian dan kesehatan, untuk membasmi kutu pembawa penyakit pes dan nyamuk malaria melalui program penyemprotan dari udara secara besar-besaran. Padahal efek racun daripadanya saat itu belum dikeahui. Penggunaan DDT ini mencapai puncaknya pada awal 1970 (sekitar 20 tahun sejak ditemukannya) sebelum akhirnya dibatasi bahkan dilarang sama sekali karena dampak ekologisnya. Senyawa ini tahan urai, saya masih ingat betul bagaimana warna putih bekas semprotan DDT yang menempel di dinding papan rumah orangtua saya yang tidak hilang selama bertahun-tahun, sejak disemprot pada tahun 1960 an. Senyawa ini juga cukup beracun bagi semua taksonomi biota, termasuk makhluk bukan-sasaran, sehingga burung pemakan padi-padian pun (betet, gelatk, manyar), yang bukan merupakan sasaran secara langsung ikut punah atau setidak-tidaknya menyebabkan burung-burung itu tak dapat bertelur lagi, atau telurnya berkulit sangat tipis, sehingga tak dapat menetas, dan akhirnya punah juga. Akibatnya musim semi di AS pun sunyi tanpa suara burung. Hal inilah telah mendorong Rachel Carson untuk mengungkapkannya ke dalam bukunya yang terkenal dan bersejarah itu – Silent Spring (Musim Semi yang Sunyi). Memang dengan tiadanya burung pemakan padi di sawah, pak tani menjadi senang. Tapi bukan itu yang seharusnya terjadi, karena berkurangnya keanekaragaman hayati (punahnya burung-burung itu) akan mempengaruhi kestabilan ekosistem, ekosistem mudah goyah; sebaliknya dengan keanekaragaman hayati yang tinggi ekosistem semakin mantap.
Contoh paling akhir dan cukup menyita perhatian dunia adalah dampak negatif dari ditemukan dan digunakannya senyawa kimia bernama chlorofluorocarbons (CFCs) yang dikenal melalui merek dagangnya Freon. Bahan ini pertama kali ditemukan di AS pada tahun 1928 dan banyak kegunaannya, digunakan di dalam mesin-mesin pendingin (AC, kulkas, pembersih chip komputer, aerosol, industri foam (busa), drycleaning, dan sebagainya. Di samping banyak kegunaannya, bahan ini memiliki kelebihan lain – stabil dan tidak mudah terbakar. Melalui pemakaian oleh manusia di dalam berbagai produk, mulai dari AC, kulkas, sampai alat pemadam api; maupun melalui penggantian/pengisian kembali dan kebocoran bahan-bahan ini dapat lepas ke atmosfer. Bahkan karena kestabilannya bahan ini dapat mencapai stratosfer, yakni lapisan di atmofer yang merupakan tempat terkonsentrasinya ozon (O3) alami yang diyakini oleh para ahli melindungi bumi dari radiasi UV yang berlebihan dari sinar matahari melalui reaksi berantai pembentukan ozon itu. Dengan demikian intensitas radiasi UV dari matahari yang sampai ke permukaan bumi sudah sangat berkurang. Paparan radiasi UV yang berlebh dari matahari diyakini oleh para ahli dapat memicu kanker kulit, katarak, dan menurunkan produksi pertanian. Walau dikenal sangat stabil, freon yang lepas ke udara dan mencapai stratosfer sangat mudah diuraikan oleh sinar UV dari matahari dengan melepaskan satu atom klorin-nya (radikal klorin) yang kemudian bereaksi dan memecah ozon, sehingga dikenal fenomena dengan nama “bolongnya ozon” di stratosfer. Padahal menurut Dwi Sasanti (1994) hampir 99% freon yang teremisi ke udara akan mencapai stratosfer. Dampak ini baru diketahui pada tahun 1974 (sekitar 40 tahun sejak ditemukannya).
Tidak usah jauh-jauh, plastik yang telah banyak membantu kehidupan manusia itu, sampahnya akhir-akhir ini membuat manusia terutama para pemerhati lingkungan menjadi pusing tujuh keliling, karena membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai, sehingga kalau dibuang sembarangan akan membuat kotor lingkungan, baik di darat dan akhirnya bermuara ke laut. Di parit dan sungai dapat menghalamgi aliran air, sehingga memperparah banjir, dan itu sudah terjadi di mana-mana. Jika dibakar akan menimbulkan racun dioksin yang dapat mengganggu pernafasan dan memicu kanker.
Oleh karena dampak negatif dari suatu inovasi teknologi biasanya baru diketahui dan dirasakan belakangan setelah inovasi itu direlease ke masyarakat, maka lalu diadakan suatu keharusan untuk menguji kelayakan lingkungan dari suatu inovasi teknologi sebelum direlease ke masyarakat, bahkan termasuk uji kelayakan sosial – apakah masyarakat bersedia menerima inovasi itu? Contoh inovasi teknologi yang sampai sekarang belum diterima oleh masyarakat dan masih menjadi perdebatan adalah teknologi kloning jika hendak diterapkan pada manusia. Ada yang sambil berkelakar nanti kalau teknologi itu diterapkan pada manusia, akan ada orang yang wajahnya suka senyum-senyum seperti pak Harto yang terkenal sebagai smiling general itu, namun hatinya bengis kayak Hitler. Menanggapi perdebatan ini seorang guru besar dari Univeritas Pakuan Bogor menulis pada harian Kompas dengan menyimpulkan pada akhir tulisannya bahwa: yang jelas kita semua ini (manusia) adalah hasil dari “kelon” (bukan “klon”). Namun demikian apakah keharusan itu selama ini benar-benar diterapkan, karena faktanya inovasi teknologi baru di bidang informasi, yakni mobile phone atau telepon seluler dan internet yang telah direlease dan digunakan oleh masyarakat ternyata akhirnya membawa dampak negatif pula di bidang sosial – banyak rumah tangga pecah gara-gara salah satu pasangan selingkuh melalui sms dan facebook, banyak orang dibui karena mencaci maki orang melalui media sosial. Saya sendiri merupakan korban dari kehadiran telepon seluler itu, namun kasusnya tak perlu saya ungkap di sini.
Hal lain yang perlu diketahui dan luput dari tulisan saudara Er Rahman adalah bahwa di bumi ini kita tidak hidup sendirian, melainkan masih ada makhluk hidup lain yang secara alami mempunyai hak untuk hidup, yakni satwa liar. Kembali ke agama, sebagai orang yang beragama mestinya yakin bahwa semua yang diciptakan oleh Tuhan di bumi ini, baik satwa liar maupun tumbuhan pasti mempunyai maksud, tujuan, dan manfaat, termasuk manfaat bagi manusia. Di dalam ekonomi lingkungan dan sumberdaya alam ada konsep “nilai pilihan yang akan datang” (option value). Maksudnya semua sepesies tumbuhan dan hewan yang saat ini belum diketahui manfaatnya bagi manusia tetap mempunyai nilai pada masa yang akan dating. Persoalnjya untuk mengetahui manfaatnya seringkali dibutuhkan penelitian yang memerlukan biaya, waktu, dan keahlian. Jika spesies-spesies itu punah manusia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkannya pada masa yang akan datang. Bahkan almarhum Prof. Dr. Otto Soemarwoto menulis di dalam salah satu bukunya bahwa “tumbuhan, hewan, dan jasad renik dapat hidup tanpa manusia, tetapi manusia tak dapat hidup tanpa tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Karena itu tumbuhan, hewan, dan jasad renik harus kita jaga kelangsungan hidupnya demi kelangsungan hidup kita sendiri”. Hal ini cukup jelas, bahkan seorang vegetarianpun yang tidak makan daging hewan juga tidak dapat hidup tanpa tumbuhan, sekalipun tumbuhan yang sudah dibudidaya menjadi tanaman, tapi nenek-moyangnya dulu berasal dari alam juga. Bahwa hewan, harimau misalnya dapat hidup tanpa manusia juga jelas, walau sekali-sekali kalau ada manusia yang mau dimakan akan dimakan juga.
Karena kita hidup bersama makhluk hidup lain, terutama hewan dan tumbuhan maka kita juga harus berbagi ruang dengan mereka. Saat ini habitat satwa liar sudah semakin sempit akibat ekspansi manusia, baik untuk pemukiman, pertanian, dan usaha lainnya. Bulan lalu ketika sedang survei lapangan untuk menyusun Amdal sebuah perusahaan kehutanan, tiba-tiba pikiran saya menyimpulkan bahwa manusia ini makhluk paling serakah – la ini dulu kan hutan belantara habitat sejumlah satwa liar. Pikiran saya membayangkan bagaimana “polahnya” para hewan liar itu ketika habitatnya, hutannya dibabat dengan menggunakan chainsaw dan bulldozer yang suaranya saja memekakkan telinga itu? Sedangkan manusia sendiri jika rumahnya terbakar misalnya, bingung setenga mati, menangis maraung-raun, bisa-bisa “gendeng”. Tetapi dia sendiri tidak memilki “perikebinatangan”. Celakanya pengusaha-pengusaha seperti itu bukan orang lokal, melainkan orang jauh dari Jakarta misalnya dengan tujuan bukan sekedar mencari makan, melainkan ingin menumpuk kekayaan. La lalu bagaiamana? Apakah manusia yang harus dikalahkan demi keberlangsungan hidup binatang liar? Ya tidak, tapi kendalikanlah pertumbuhan dan jumlah penduduk manusia ini, sehingga sekspansi, deforestasi, konversi lahan hutan seperti itu dapat dikurangi. Hampir semua ahli berpendapat bahwa jumlah manusia di bumi saat ini sudah terlalu banyak, pertumbuhnannya masih relatif tinggi. Teori Deontik menyatakan bahwa seandainya di bumi hanya tersedia cukup sumberdaya untuk sejumlah x orang, maka harus diusahakan agar penduduk bumi tidak lebih dari x orang. Manusia tidak wajib melahirkan, tetapi wajib menjamin agar manusia yang telah dilahirkan memiliki taraf hidup yang memadai. Yang belum dilahirkan juga tidak minta untuk dilahirkan. Sedangkan teori lingkungan tegas menyatakan bahwa kewajiban manusialah untuk memelihara keserasian hubungan manusia dengan lingkungannya, walaupun dengan konsekwensi adanya pengurangan kebebasan individu; termasuk demi pemerataan dan keadilan yang jelas tak dapat diatasi dengan teknologi.
Sebagai penutup – yang jelas kedua tesis yang saya sebut di atas, baik tesis gemah ripah yang optimis sepertihalnya yang diikuti oleh saudara Arif Er Rachman, maupun tesis titik batas yang saya ikuti, sama-sama belum terbukti, keduanya masih di dalam perjalanan menuju ke pembuktian kebenarannya. Walau tesis gemah ripah didukung oleh fakta bahwa sampai hari ini teknologi memang masih bekembang terus dengan pesatnya, namun itu belum merupakan pembuktian secara final, karena dunia belum kiamat. Sedangkan tesis titik batas yang dipelopori oleh Meadows dan kawan-kawan yang mengklaim bahwa batas pertumbuhan saat itu (tahun 1970-an) sudah dekat sampai saat ini ternyata juga belum terbukti. Yang jelas keduanya akan berhenti berkembang pada hari kiamat.