Ternyata Hawking-pun Tidak Optimis Terhadap Bumi
Sesaat setelah tulisan saya yang kedua (terakhir) sebagai tanggapan atas tulisan Sdr Arif Er Rachman saya kirim ke redaksi Tribun Kaltim, ternyata saya temukan file di dalam komputer saya catatan tentang pernyataan Stephen Hawking tentang “kecerdasan buatan” (artificial intelligence) yang mestinya perlu saya masukkan ke dalam tulisan saya tersebut. File tersebut bersumber dari media sosial (medsos). Inti pernyataan Hawking tersebut adalah dia memperingatkan agar manusia mengontrol teknologi; karena teknologi dapat menghancurkan manusia. Walau di dalam pernyataannya tersebut Hawking masih tetap optimis (terhadap teknologi?). Pada hakekatnya apa yang disampaikan oleh Hawking ini adalah sama dengan yang saya sampaikan di dalam dua tulisan saya yang dimuat oleh Tribun Kaltim edisi 27 dan 28 April 2017 tersebut (hanya saja judul tulisan ke dua di dalam harian tersebut mestinya menggunakan tanda tanya di belakangnya, sehingga menjadi “Baru Akan Berhenti Berkembang pada Hari Kiamat?”; karena judul tersebut masih merupakan hipotesis). Di dalam kedua tulisan tersebut saya sampaikan dan contohkan bahwa teknologi seringkali juga menimbulkan dampak negatif, dan celakanya dampak negatif itu baru diketahui setelah beberapa lama dan menimbulkan banyak korban/kerugian.
Kebetulan Tribun Kaltim edisi Rabu, 10 Mei 2017 juga memuat pernyataan terbaru dari Hawking, dengan judul “Menurut Hawking Manusia Hanya Punya Waktu 100 Tahun” dan dia menghimbau agar manusia segera mencari tempat baru selain bumi. Menurut dia manusia akan punah jika tidak menemukan planet baru dalam 100 tahun ke depan; akibat perubahan iklim, serangan asteroid, epidemi penyakit, dan pertumbuhan penduduk. Di sisi lain Hawking juga memperingatkan bahwa manusia akan punah jika tidak menjaga bumi. Di dalam berita tersebut memang diakui bahwa pernyataan Hawking ini berubah (berbeda) drastis dengan pernyataannya pada November tahun 2016 (yang barangkali termasuk yang dijadikan acuan tulisan sdr Arif Er Rachman yang berjudul “Tetaplah Optimis pada Bumi” (Tribun Kaltim, Minggu 23 April 2017); karena di dalam tulisannya tersebut sdr Er Rachman mengutip pernyataan Hawking bahwa pada tahun 2600 akan lahir 10 teori fisika baru setiap 10 detik.
Terlepas dari pernyataan yang mana atau pernyataan siapa yang akhirnya terbukti kebenarannya (tesis “titik batas” yang saya anut atau tesis “gemah-ripah” yang dianut oleh sudara Er Rachman); kedua pernyataan Hawking yang terkahir tersebut di atas menunjukkan, bahwa saat ini (posisi terakhir) Hawking tidak termasuk orang yang optimis terhadap bumi seperti yang diklaim oleh sdr Er Rachman, walaupun dia masih optimis terhadap teknologi. Terhadap penyebab kepunahan manusia versi Hawking yang disebut di atas, “kelaparan” tampaknya merupakan salah satu penyebab yang lain, terutama jika pertumbuhan dan jumlah penduduk dunia tidak dikendalikan; karena pertumbuhan penduduk cenderung mengikuti pola eksponensial; sehingga waktu lipat dua (doubling time-nya) semakin pendek (lihat Gambar). Demikian pula tentang epidemi penyakit yang dimaksud oleh Hawking dapat ditambahkan termasuk penyakit akibat kekurangan pangan. Saat ini saja bencana kelaparan sudah sering melanda negara-negara di Afrika. Menurut UNICEF akibat kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan yang buruk, saat ini setiap 2,1 detik satu anak meninggal; tiap menit 29 anak meninggal; dan setiap hari 41.095 anak meninggal. Celakanya lagi pertumbuhan dan jumlah penduduk yang tinggi justru berada di negara-negara miskin dan sedang berkembang seperti negara-nagara di Afrika. Peringatan Hawking bahwa manusia juga harus menjaga bumi pada intinya juga sama dengan apa yang saya sampaikan di dalam dua tulisan saya tersebut di atas, yakni keuntungan jika kita mengikuti tesis titik batas (limits thesis), karena dengan mengikuti tesis ini kita akan lebih berhati-hati dan bijaksana terhadap lingkungan dan SDA.
Kembali ke Gambar; dari tahun 1800 jumlah penduduk dunia untuk menjadi dua kali lipat (dari 1 milyar menjadi 2 milyar) memerlukan waktu yang cukup lama, yakni 130 tahun (1930 – 1800). Tetapi dari 2 milyar untuk menjadi 4 milyar (dua kali lipat berikutnya) waktunya semakin pendek, hanya 45 tahun (1975 – 1930), dan dari 4 milyar untuk menjadi 8 milyar memerlukan waktu yang lebih pendek lagi, yakni hanya 42 tahun (2017 – 1975). Padahal pada periode yang disebut terakhir sudah banyak negara (termasuk Indonesia) yang mengendalikan pertumbuhan penduduknya melalui program keluarga berencana (KB), oleh karena itu selisih “waktu lipat duanya” dengan periode sebelumnya hanya selisih dua tahun. Semoga tidak lebih pendek lagi